Oleh : Ammy Amelia
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Aku malu pada ilalang. Yang selalu menari riang, walau bermandikan debu dan air hujan. Mereka tertawa saling menyapa. Mengikuti arah gelagat bayu nan kemayu. Kemanapun mengayun, mereka turut dan tunduk. Tak butuh menyanggah apalagi jengah. Mengalun saja, resapi dinamika irama hawa.
Kadang udara tanpa suara. Namun badai topan acapkali bertandang dengan jumawa. Ilalang tetap bermurah hati tanpa patah hati. Syukuri simfoni ruang kehidupan, sebagai bingkisan cinta Sang Penggenggam Semesta Alam.
Ranah ilalang memang menawan. Di dalamnya tersirat hamparan pesan kesederhanaan. Sungguh berbantah dengan orkestra dunia yang syarat fana. Suaranya sumbang tanpa nada, namun membuat manusia terbuai hingga hilang logika. Padahal, hasratnya penuh siasat lagi muslihat. Tak mengenal sua, hanya keakuan semata. Saat langgamnya mulai berisik dan mengusik. Jawabannya pilu, bahkan kelu lalu membatu. Tak ada pasrah, malah amarah. Karena senandung cinta untuk dunia, hanya berujung pada sengsara.
Lantas, masihkah manusia terlena oleh irama orkestra dunia??
Aku, lebih memilih ilalang dalam hembusan semilir angin. Lakunya memikat, anggun terhormat. Pun, saat diterpa amuk prahara. Ia tulus menerima, penuh sukacita.
Malulah pada ilalang, yang senandungnya tetap syahdu meski orkestra tak lagi merdu.
Bandung, 8 Desember 2020
Editor : Mitarose/Mrsn